No Land, No House, No Vote: Indonesian Job Market's Political Quagmire

 

Indonesia, negeri yang kaya akan budaya, keindahan alam, dan... tentu saja, politik yang tak ada habisnya. Namun, di tengah gejolak politik yang memanas, terdapat satu isu yang mungkin terlupakan: lapangan pekerjaan. Sebagai warga tanpa tanah dan rumah, bagaimana nasib mereka di arena politik?

Sebuah isu yang seringkali luput dari sorotan dalam pembicaraan politik adalah lapangan pekerjaan. Di Indonesia, di mana politik kadang-kadang terasa seperti pertandingan sirkus yang tidak berujung, warga sering kali melupakan bahwa kestabilan ekonomi adalah fondasi dari kestabilan politik. Namun, bagi mereka yang tidak memiliki tanah atau rumah, pertanyaannya mungkin lebih sederhana: apakah mereka punya suara dalam menentukan arah politik?

Kisah "No Land, No House, No Vote":

Bayangkan saja seorang pekerja kontrak yang berjuang untuk menyambung hidup di tengah hiruk-pikuk kota besar. Dia tidak memiliki tanah atau rumah untuk disebut sebagai miliknya. Setiap hari, dia bangun dengan pertanyaan yang sama: apakah suaranya akan dianggap berharga oleh para politisi?

Pertarungan Tanpa Kediaman:

Dalam lingkungan politik yang didominasi oleh elite dengan harta dan tanah yang melimpah, suara pekerja harian atau pekerja kontrak seringkali terdengar seperti suara yang lemah. Tanpa kepemilikan atas tanah atau rumah, mereka dianggap sebagai pemilih yang tidak signifikan oleh para politisi yang lebih memperhatikan kepentingan elit.

Manipulasi atas Hak Suara:

Tak jarang, warga tanpa tanah atau rumah menjadi korban manipulasi politik. Mereka diiming-imingi bantuan atau janji palsu, namun setelah pemilihan berakhir, mereka ditinggalkan lagi dalam keadaan yang sama: tanpa tanah, tanpa rumah, dan tanpa suara yang dihargai.

Pertanyaan yang Melayang:

Namun, di tengah semua ini, kita harus bertanya: apakah tidak memiliki tanah atau rumah seharusnya menghapuskan hak seseorang untuk memiliki suara yang dihargai? Apakah hak suara harus bergantung pada kepemilikan properti, atau apakah itu adalah hak yang inheren bagi setiap warga negara?

Dalam negeri yang kaya akan pluralitas dan keanekaragaman, tidak boleh ada warga yang kehilangan suaranya dalam proses politik hanya karena mereka tidak memiliki tanah atau rumah. "No Land, No House, No Vote" tidak boleh menjadi mantra yang menentukan nasib politik mereka. Kita harus memastikan bahwa setiap suara dihargai, tidak peduli dari mana asalnya. Bagaimanapun juga, dalam demokrasi, setiap suara memiliki bobotnya sendiri, tanah atau rumah bukanlah syarat mutlak untuk menentukan masa depan politik sebuah negara.

Aneh dan betul ini adalah kenyataan dan seapun demikian juga, bertanya dan mengilhami diri bahwasanya negara luarpun sebenarnya sudah mencontohkan seperti Afsel, dan ini harusnya bisa jadi semangat gerakan anak muda underprivileged, sandwich, middle income mepet, yang susah punya tanah dan rumah untuk mentasbihkan diri No Land, No House, No Vote.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url