Kompak Membela yang Salah: 630 Siswa SMA Menuju Generasi Emas
Lebak, Banten — Sebuah pemandangan langka nan mengharukan terjadi di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Banten. Saat biasanya kita melihat siswa-siswi bersemangat menuju gerbang ilmu, 630 jiwa justru memilih berbalik arah. Bukan karena hari libur, bukan pula karena ada lomba. Melainkan, karena solidaritas. Solidaritas membela satu teman yang tertangkap merokok dan oh, betapa dramatisnya mendapatkan 'sentuhan kasih' berupa tamparan dari kepala sekolah.
Peristiwa heroik ini berawal dari seorang pahlawan, sebut saja Indra, yang tertangkap basah sedang mengukir awan nikotin di area suci sekolah. Sang kepala sekolah yang bersemangat menegakkan disiplin, secara spontan memberikan tamparan edukatif kepada Indra. Tentu saja, tindakan ini memicu gejolak emosi di kalangan 630 siswa lainnya. Mereka tidak terima. Mereka merasa Indra dizalimi. Sebuah tamparan. Sebuah tamparan! Betapa mengerikannya.
Maka, sebagai bentuk protes dan pembelaan, 630 siswa dengan kompak sepakat untuk tidak masuk sekolah. Sebuah aksi mogok massal yang luar biasa, menunjukkan betapa kuatnya ikatan batin mereka. Mereka seolah berseru, "Jika satu terluka, semua merasakan sakitnya!" Sakit akibat tamparan, bukan sakit akibat paru-paru yang terkikis rokok. Aksi ini menjadi sebuah demonstrasi nyata akan pentingnya solidaritas tanpa pandang bulu.
Pendidikan Budi Pekerti Masa Depan
Aksi mogok ini, adalah sebuah masterclass dalam pendidikan karakter. Sekolah selama ini mengajarkan nilai-nilai seperti disiplin, kejujuran, dan tanggung jawab. Namun, para siswa ini, dengan kearifan lokal mereka, menunjukkan bahwa ada nilai yang jauh lebih tinggi: kesetiaan pada kawan, bahkan ketika kawan itu terang-terangan melanggar aturan. Mereka secara mandiri telah menemukan kurikulum mereka sendiri, sebuah kurikulum anti-kedisiplinan yang berbasis empati yang mendalam.
Para siswa ini adalah prototipe dari Generasi Emas yang digadang-gadang pemerintah. Mereka adalah generasi yang tak gentar menghadapi "kezaliman" berupa hukuman ringan. Mereka belajar bahwa membela teman yang salah adalah esensi dari persahabatan sejati. Mereka menolak tunduk pada otoritas yang 'menyakiti' secara fisik, namun secara ironis tidak melihat bahaya yang lebih besar dari rokok yang mereka dukung.
Kepala sekolah yang semula bertindak tegas, kini mungkin merenung. Haruskah dia membiarkan saja Indra merokok? Haruskah dia memberikan sertifikat penghargaan kepada 630 siswa tersebut atas solidaritasnya? Mungkin, ada baiknya di masa depan, sekolah tidak lagi melarang merokok. Cukup sediakan asbak di setiap kelas, dan alih-alih pelajaran Biologi, ada baiknya diganti dengan pelajaran "Cara Merokok yang Baik dan Benar untuk Menghemat Paru-paru."
Sebuah Tinjauan Masa Depan
Aksi 630 siswa ini adalah pertanda baik bagi masa depan bangsa. Bayangkan, jika di masa depan nanti, saat salah satu pejabat korupsi dan tertangkap tangan, 630 pegawai lainnya akan mogok kerja sebagai bentuk solidaritas. Atau, jika ada seorang pelaku kriminal tertangkap, masyarakat akan kompak berdemonstrasi karena si pelaku "disakiti" oleh polisi. Solidaritas tanpa nalar akan menjadi pondasi kuat untuk membangun peradaban yang... entah bagaimana.
Mari kita angkat topi untuk 630 siswa SMA di Banten ini. Mereka tidak hanya mogok sekolah. Mereka sedang menulis babak baru dalam sejarah pendidikan kita: bahwa yang penting bukan lagi benar atau salah, melainkan kompak atau tidak kompaknya kita dalam membela.



Mental sampah dan tyda jos jis
Ada yg bilang ditangan guru yg tepat murid menjadi sehat
Sementara itu profesi guru di Indonesia dari dulu sesat
statement kehed yg membandingkan pendidikan luar dengan Pendidikan di Indo adalah kesenjangan paripurna