Andaikan Ibukota Indonesia Ada di Mojokerto: Ngawi Akan Jadi Kota Selevel Bekasi, dan Sound Horeg Jadi Tradisi


 Pernahkah Antum membayangkan kalau sejarah sedikit melenceng? Misalnya, keputusan Presiden Soekarno dulu bukan menunjuk Jakarta sebagai ibu kota, melainkan Mojokerto. Kota kecil di Jawa Timur itu, yang lebih terkenal dengan soto dan peninggalan Majapahit, tiba-tiba dipoles jadi pusat pemerintahan.

Nah, kalau itu terjadi, efek domino-nya pasti luar biasa. Bukan hanya Mojokerto yang naik kelas, tetapi Ngawi kota tetangganya yang terkenal dengan alun-alun segede lapangan bola dan patung bambu runcing itu akan menjelma jadi “Bekasi of the East”.
Sekali lagi, siapa yang ikut naik kelas? Tentu saja, Ngawi.

Ngawi: Kota Satelit Rasa Bekasi

Kalau Mojokerto jadi ibu kota, otomatis orang-orang dari Sabang sampai Merauke akan menumpuk di sekitarnya. Nah, Ngawi yang posisinya di jalur strategis perbatasan Jatim-Jateng, bakal jadi daerah “penyangga”. Ibarat Bekasi dengan Jakarta, Ngawi akan dipandang sebelah mata tapi tetap dibutuhkan.

“Kerja di Mojokerto, rumah di Ngawi” bakal jadi jargon klasik. Orang akan rela macet di jalur Caruban demi gaji UMR ibu kota. Mall di Ngawi pun mungkin muncul setara Summarecon, lengkap dengan parkiran susah dan promo midnight sale, Arek-arek muda Ngawi yang biasanya nongkrong di alun-alun sambil jajan cilok, karo makan siang ndek angkringan akan naik kasta jadi “pekerja urban”. Istilah Arek Ngawi mungkin akan berubah makna: bukan lagi sekadar identitas lokal, tapi label kelas pekerja yang setiap Senin pagi harus berdesakan di bus Trans-Mojokerto.

Tradisi Baru: Festival Sound Horeg Nasional

Lalu apa jadinya perayaan ulang tahun ibu kota? Kalau Jakarta selalu identik dengan panggung musik di Monas, kota tua, dan landmark peninggalan pasca kolonial dan sebelum era reformasi, maka Mojokerto pasti punya panggung megah khas kerajaan terbesar di Trowulan. Nah, di situlah sound horeg beraksi.

Sound horeg yang biasanya jadi primadona di hajatan desa dengan volume 135 dB atau 300% lebih keras dari kebutuhan akan disahkan menjadi tradisi resmi. Bayangkan setiap 17 Agustus atau ulang tahun Mojokerto sebagai ibu kota, pesta rakyat dibuka dengan alunan remix koplo-horeg yang bikin gendang telinga merinding sekaligus ingin bergoyang.

“Daripada pesta kembang api, mending pesta horeg,” kata masyarakat setempat, sambil berjoget dengan ritme yang tidak pernah sesuai dengan beat aslinya.

Indonesia Yang Lebih Horeg

Singkatnya, kalau ibu kota ada di Mojokerto, maka sejarah Indonesia akan lebih meriah. Bekasi tidak lagi sendirian jadi bahan olok-olok, karena Ngawi siap menggantikan posisinya. Dan dunia akan mengenal Indonesia bukan dari Monas atau nasi goreng, tapi dari dentuman sound horeg yang bisa terdengar sampai lapisan atmosfer.

Jadi, andai ibu kota ada di Mojokerto, kita mungkin tidak akan membicarakan macetnya Jakarta, melainkan antrean di terminal Ngawi. Kita tidak akan bercanda soal anak Bekasi, tapi soal arek Ngawi. yang selalu bangga bekerja ditemani lagu Denny Caknan rino lan wengi, dan tentu saja, dunia akan mengenal Indonesia bukan hanya lewat angklung atau gamelan, tapi juga lewat sound horeg sebagai warisan budaya takbenda UNESCO.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url