Dilema Ulama +62 Menjadi Corong Rakyat atau Corong Kekuasaan?
Pernyataan pimpinan ormas Islam yang dipanggil oleh pejabat tinggi seolah tak berdampak apa-apa. Publik sudah lama melihat ormas-ormas besar ini bukan sekadar pilar masyarakat, melainkan bagian dari kekuasaan itu sendiri. Akibatnya, suara mereka terdengar seperti corong pemerintah, bukan cerminan keresahan rakyat.
Pemerintah pun tampaknya salah dalam membaca situasi. Mereka yang turun ke jalan, melakukan kekerasan, dan menjarah bukanlah kelompok yang terafiliasi dengan ormas Islam. Lantas, mengapa ormas-ormas Islam yang diminta untuk menenangkan massa?
Inilah kenyataan pahitnya: saat ajaran agama gagal memberikan solusi yang inspiratif, para pemuka agama hanya diposisikan sebagai "pemadam kebakaran."
Agama seharusnya menjadi energi moral yang mendorong perubahan. Kehadiran ulama memang penting untuk memberikan legitimasi, tetapi kehadirannya sering kali tidak menyentuh akar masalah. Seharusnya, mereka juga menyampaikan, "Kami sudah ingatkan aspirasi umat pada Presiden soal rakyat yang kena PHK, biaya hidup mencekik, arogansi, korupsi merajalela, dan keadilan yang menjauh. Presiden pun mengakuinya."
Jargon “NKRI Harga Mati” sering kali digaungkan, tetapi maknanya tidak boleh menjadi slogan kosong. NKRI harga mati berarti juga berdiri di pihak rakyat. Membela tanah air berarti membela perut, suara, dan harapan rakyat. Jika pemerintah tidak lagi menjaga amanat, ulama harus berani mengingatkan tentang akar masalah, bukan sekadar menjadi alat untuk menenangkan suasana.
Yang ditunggu rakyat bukanlah khotbah yang sekadar meredakan luka, tetapi seruan berani yang menyingkap sumber penderitaan. Jika agama hanya hadir untuk menenangkan tanpa mengobati akar masalah, wajar jika umat merasa ditinggalkan.
Imam al-Ghazali sudah sejak lama mengingatkan:
“Secara umum, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan penguasa, dan kerusakan para penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama. Seandainya tidak ada hakim dan ulama yang buruk, niscaya kerusakan para penguasa akan berkurang karena mereka takut terhadap penolakan (kritik) dari ulama.”
Semoga negeri kita damai dan sejahtera.
.jpeg)