Mimpi Sekelas Akatsuki, Budget Warung Kopi
Mimpi Sekelas Akatsuki, Budget Warung Kopi Realita Pahit Dunia Developer
Setiap minggu, selalu ada saja orang yang datang ke developer dengan mata berbinar-binar sambil berkata:
“Mas, saya mau bikin aplikasi kayak Gojek, tapi versi sederhana aja ya. Budget-nya 3 juta.”
Dan di titik itu, developer cuma bisa menarik napas panjang.
Dalam hati bergumam,
“Wah, ini sih mimpi sekelas Akatsuki, tapi modalnya cuma cukup buat beli kopi sasetan.”
Ketika Mimpi Terlalu Besar untuk Dompetnya
Gak salah punya mimpi besar. Semua startup raksasa juga dulu berawal dari ide yang “gila.”
Tapi yang sering lupa disadari: ide besar butuh biaya besar juga.
Kalau mau bikin aplikasi yang stabil, aman, dan punya pengalaman pengguna yang layak, jangan berharap semuanya bisa jadi dengan harga setara paket internet bulanan.
Coding bukan sulap, dan developer bukan ninja dengan jurus “Clone App no Jutsu.”
Developer Bukan Pesulap
Banyak orang kira bikin aplikasi itu tinggal klik “Generate Project” dan langsung muncul aplikasi sempurna.
Padahal di balik layar ada proses panjang dari riset, desain, sampai testing berulang kali.
Dan jangan lupa, ada juga berliter-liter kopi yang dikorbankan.
Kalau kamu minta bikin sistem ERP dengan budget warung kopi, hasilnya ya jelas: ERP-nya bakal error pas login.
Mau tampilan rapi aja butuh waktu desain, uji tampilan, dan revisi.
Minta hasil “kayak Shopee tapi murah”?
Siap-siap aja dapet hasil “kayak Shopee versi trial 7 hari.”
Klien Kere: Banyak Maunya, Minim Logika
Masalahnya bukan cuma di budget, tapi juga di ekspektasi.
Klien kere biasanya datang dengan impian besar, tapi logika tipis.
Mereka pengen:
-
Fitur lengkap kayak aplikasi miliaran,
-
Maintenance seumur hidup,
-
Support 24 jam,
-
Tapi bayar cuma cukup buat beli ayam geprek level 3.
Begitu dijelaskan soal server, integrasi API, dan biaya maintenance, langsung ngomong:
“Lho, kirain udah include semua, Mas?”
Sementara klien yang paham produk malah kalem.
Mereka tahu apa yang mereka bayar, dan tahu apa yang bisa didapat.
Bedanya? Yang satu mau belajar, yang satu cuma mau murah.
Developer Juga Harus Punya Harga Diri
Untuk para developer: jangan salahin pasar kalau kamu sendiri yang ngerusak standar harga.
Kalau kamu terus banting harga cuma demi dapet proyek, kamu bukan lagi ninja kamu freelancer kelaparan.
Harga pantas itu bukan kesombongan. Itu bentuk penghargaan terhadap waktu dan kemampuanmu.
Kalau klien bilang,
“Di tempat lain bisa lebih murah,”
jawab aja,
“Silakan, semoga hasilnya juga sesuai harga.” 😏
Akhirnya, Semua Kembali ke Realitas
Mimpi besar itu keren. Tapi mimpi tanpa perhitungan cuma bikin capek orang lain terutama developernya.
Sebelum ngomong mau bikin startup, pastikan dulu:
-
Kamu tahu mau bikin apa,
-
Kamu tahu kenapa butuh itu,
-
Dan kamu siap bayar harganya.
Karena developer bukan makhluk spiritual yang bisa memunculkan aplikasi dengan mantra.
Mimpi Boleh Setinggi Langit, Tapi Budget Jangan Serendah Sedotan
Gak masalah punya impian besar bahkan sekelas Akatsuki sekalipun.
Tapi sadar diri itu penting.
“Naruto aja butuh latihan bertahun-tahun buat nguasain Rasengan.”
Begitu juga aplikasi.
Perlu proses, waktu, tenaga, dan tentunya biaya.
bukan cuma semangat dan kata “nanti kita bagi hasil kalau sukses.
Jadi sebelum kamu bilang “Mas, saya mau bikin aplikasi gede, tapi murah ya,”
ingatlah satu hal:
Kalau budget-mu masih setara warung kopi, jangan mimpi bangun kerajaan teknologi.
Mulai realistis dulu. Dari situ, baru impianmu bisa tumbuh pelan tapi pasti..
Hitung dulu, pikir dulu, baru ngegas.
Karena mimpi besar tanpa logika finansial, hasilnya cuma satu
drama panjang antara klien kere dan developer yang kehilangan harapan.
“Harga murah bikin senyum di awal, tapi nangis di akhir.”
